Ini kisah petani rawa lebak di Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Hulu
Sungai Utara, Kalimantan Selatan, di masa silam. Mengumpulkan kulit
jengkol Phitecellobium lobatum dari ladang, pasar tradisional, atau
dapur lalu menyebarkannya di sawah. Sawah pun bebas dari serangan tikus.
Itu merupakan teknik lama mengusir tikus yang digunakan secara turun-temurun oleh petani di Tanah Banua. Selama berabad-abad di masa silam tak pernah terjadi ledakan hama tikus.
Seiring waktu berjalan, cara sederhana tersebut tergusur oleh kehadiran rodentisida (racun tikus) sintetis yang praktis digunakan.
Berbeda dengan racun atau perangkap, kulit jengkol tidak membunuh tikus. Aroma yang dikeluarkan kulit jengkol membuat tikus tidak betah. Maka ketika diletakkan kulit jengkol di lubang tikus di sawah, mereka akan menghindar dari area tersebut.
Cara lain, dengan menghancurkan kulit jengkol, melarutkannya dalam air, lalu menyemprotkan larutan kulit jengkol ke lahan. Dengan demikian tikus menghindar dari sawah. Namun, memang cara ini lebih merepotkan bagi petani zaman sekarang.
Meski demikian, berdasarkan riset Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru, Kalimantan Selatan, cara kedua justru bermanfaat ganda. Larutan jengkol juga bersifat insektisida.
Hasil pengamatan Balittra menunjukkan, sayuran yang disemprot larutan kulit jengkol berdosis 1,5—2,0 g/liter air terbebas dari tikus, hama penggerek batang padi, hama putih palsu, hama putih ulat grayak, ulat jengkal, ulat buah dan ulat plutella.
Berbeda dengan area yang tidak menggunakan larutan jengkol, lahan tersebut terserang hama tikus, penggerek batang padi, ulat grayak, ulat jengkal, hama putih palsu, dan hama putih dengan tingkat kerusakan 35- 75%. Keampuhan kulit jengkol sebagai rodentisida dan insektisida setara senyawa kimia antikoagulan berbahan aktif Bromadiolone.
Itu merupakan teknik lama mengusir tikus yang digunakan secara turun-temurun oleh petani di Tanah Banua. Selama berabad-abad di masa silam tak pernah terjadi ledakan hama tikus.
Seiring waktu berjalan, cara sederhana tersebut tergusur oleh kehadiran rodentisida (racun tikus) sintetis yang praktis digunakan.
Berbeda dengan racun atau perangkap, kulit jengkol tidak membunuh tikus. Aroma yang dikeluarkan kulit jengkol membuat tikus tidak betah. Maka ketika diletakkan kulit jengkol di lubang tikus di sawah, mereka akan menghindar dari area tersebut.
Cara lain, dengan menghancurkan kulit jengkol, melarutkannya dalam air, lalu menyemprotkan larutan kulit jengkol ke lahan. Dengan demikian tikus menghindar dari sawah. Namun, memang cara ini lebih merepotkan bagi petani zaman sekarang.
Meski demikian, berdasarkan riset Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru, Kalimantan Selatan, cara kedua justru bermanfaat ganda. Larutan jengkol juga bersifat insektisida.
Hasil pengamatan Balittra menunjukkan, sayuran yang disemprot larutan kulit jengkol berdosis 1,5—2,0 g/liter air terbebas dari tikus, hama penggerek batang padi, hama putih palsu, hama putih ulat grayak, ulat jengkal, ulat buah dan ulat plutella.
Berbeda dengan area yang tidak menggunakan larutan jengkol, lahan tersebut terserang hama tikus, penggerek batang padi, ulat grayak, ulat jengkal, hama putih palsu, dan hama putih dengan tingkat kerusakan 35- 75%. Keampuhan kulit jengkol sebagai rodentisida dan insektisida setara senyawa kimia antikoagulan berbahan aktif Bromadiolone.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !
Note: only a member of this blog may post a comment.